Pembaruan Relasi dengan Keluarga
Pertemuan Ketiga BKSN 2025
*Pembaruan Relasi dengan Keluarga*
Minggu 21 September 2025, umat lingkungan Santa Sisilia wilayah Santo Antonius Padua, paroki Santo Andreas Sukaraja, kembali mengadakan pertemuan BKSN ketiga. Hari ini ibu Theresia Kusmiati mengundang kita semua untuk hadir di rumah beliau, sebagai tempat pertemuan. Dalam pertemuan ketiga BKSN 2025 ini kita diajak untuk merenungkan Kitab Maleakhi 2:10-16 sebagai rujukan tema Pembaruan Relasi dengan Keluarga. Acara dipandu Bp Mikael Kolo dengan dua orang fasilisator (Bp Thomas dan Bp Luisfunan) yang dihadiri sejumlah umat.
Dalam pengantar pertemuan, Bp Thomas menjelaskan bahwa Nabi Maleakhi harus berhadapan dengan umat yang tidak peduli lagi dengan iman mereka. Ketidakpedulian mereka terungkap dalam tindakan banyak suami yang menceraikan istri mereka. Dalam perkawinan, Allah mempersatukan seorang laki-laki dan seorang perempuan dalam ikatan kasih. Namun, para suami (pria Yahudi) mengabaikan kebenaran ini dan melihat istri dapat diceraikan kalau sudah tidak senang lagi kepadanya atau ada perempuan lain yang dianggap lebih membuat mereka senang. Banyak di antara mereka menceraikan istri mereka untuk bisa memperistri perempuan asing. Nabi Maleakhi mengingatkan mereka bahwa Allah menghendaki pembaruan relasi dalam keluarga: Ia menghendaki kesetiaan (Maleakhi 2:10-16). Nabi menunjukkan bahwa ketidaksetiaan kepada istri merupakan satu wujud ketidaksetiaan kepada Allah. Selanjutnya pembacaan teks kitab Maleakhi 2:10-16 dibacakan oleh Bp Hendri, yang semakin memperjelas konteks pertemuan ketiga ini.
Bacaan Teks (Maleakhi. 2:10-16).
10. Bukankah kita sekalian mempunyai satu bapa? Bukankah kita diciptakan oleh satu Allah? Lalu mengapa kita berkhianat satu sama lain sehingga menajiskan perjanjian nenek moyang kita?
11. Yehuda berkhianat. Perbuatan yang menjijikkan dilakukan di Israel serta di Yerusalem, sebab Yehuda telah menajiskan Tempat Kudus yang dikasihi TUHAN dan telah menjadi suami anak perempuan ilah asing.
12. Kiranya TUHAN melenyapkan dari kemah-kemah Yakub segenap keturunan orang yang berbuat demikian, sekalipun ia membawa persembahan kepada TUHAN Semesta Alam!.
13. Inilah hal kedua yang kamu lakukan: Kamu menutupi mezbah TUHAN dengan air mata, dengan tangisan dan rintihan, oleh karena Ia tidak lagi berpaling kepada persembahan dan tidak berkenan menerimanya dari tanganmu.
14. Lalu kamu bertanya, “Karena apa?” Karena TUHAN telah menjadi saksi antara engkau dan istri masa mudamu yang telah kau khianati, padahal dialah teman hidupmu dan istri perjanjianmu.
15. Bukankah Dia yang Esa menjadikan mereka daging dan roh? Apakah yang dikehendaki yang Esa itu? Keturunan umat Allah! Jadi, jagalah dirimu! Janganlah seorang pun berkhianat terhadap istri masa mudanya.
16. Sebab Aku membenci perceraian, firman TUHAN, Allah Israel, dan juga orang yang berselubungkan kekerasan, firman TUHAN Semesta Alam Jagalah dirimu dan jangan berkhianat.
Penjelasan Teks Maleakhi 2:10-16.
1. Ayat Maleakhi 2:10 adalah kalimat retorik yang menyindir orang Yahudi yang tidak setia. Katanya, “Bukankah kita sekalian mempunyai satu bapa? Bukankah kita diciptakan oleh satu Allah?”. Dalam dua ayat ini, TUHAN sekaligus disebut sebagai Bapa dan Pencipta. TUHAN mengangkat Israel menjadi Umat-Nya dan membangun hubungan istimewa dengan mereka. Hubungan bapa-anak merupakan kiasan untuk menggambarkan relasi istimewa antara TUHAN dan Israel. TUHAN menyebut Israel sebagai anak-Nya, anak sulung-Nya (Kel. 4:22) dan Dia adalah Bapa mereka. Dengan demikian, semua orang Israel adalah anak-anak Allah, mereka adalah satu keluarga dengan Allah sebagai Bapa mereka. Kesadaran akan hal ini mendorong mereka untuk melihat situasi mereka sendiri lalu bertanya, “Lalu mengapa kita berkhianat satu sama lain sehingga menajiskan perjanjian nenek moyang kita?”
2. Maleakhi mengecam Yehuda karena dua kejahatan: menajiskan Bait Suci dengan penyembahan berhala dan menikahi perempuan asing penyembah berhala (Mal 2:11-12). Perkawinan campur ini mengakibatkan penyembahan berhala, seperti dosa Salomo. Nabi berdoa agar Tuhan membuang para pengkhianat ini dari umat-Nya, termasuk mereka yang masih membawa persembahan namun tidak setia.
3. Tuhan menolak persembahan Israel karena mereka mengkhianati istri-istri mereka (Mal. 2:13-16). Pernikahan adalah perjanjian suci dihadapan Tuhan, namun mereka menceraikan istri untuk menikahi wanita asing penyembah berhala. Tuhan menghendaki kesetiaan dalam perkawinan untuk melahirkan keturunan beriman, sehingga memperingatkan: "Jagalah dirimu, jangan berkhianat!"
4. Allah melalui Nabi Maleakhi menyatakan kebencian-Nya terhadap perceraian dan praktik menikahi wanita asing penyembah berhala (Mal. 2:16). Perbuatan ini melukai kesetiaan pernikahan dan iman kepada Tuhan. Meski umat Israel sering mengkhianati-Nya, Allah tetap menunjukkan kesetiaan-Nya yang tak berkesudahan. Perceraian dan perkawinan campur yang merusak iman mencerminkan ketidaksetiaan yang bertentangan dengan karakter Allah yang setia."
Pengayaan Materi pertemuan.
Pengayaan materi pertemuan ketiga dijelaskan Bp Luisfunan dengan cara menarik benang merah pertemuan pertama dan kedua sebagai kesinambungan pertemuan ketiga. Pembaruan relasi dengan diri sendiri, pembaruan relasi dengan sesama, pembaruan relasi dengan keluarga, bertobat dan kembali kepada jatidirinya sebagai anak Allah (lihat Zakharia 1:1-6; Zakharia7: 1-14; Maleakhi 2:10-16), merujuk pada pengalaman lsrael di mesir (Keluaran 2:23-25), lsrael kembali dari pembuangan babel yang merindukan ibadat sejati, dalam gambaran puasa yang benar sebagai hari perdamaian (lihat Yesaya 58:5-7; Matius 6:6-7). Melalui Kejadian 2:21-24 dan Kejadian 1:8 kita melihat gambaran sejati pernikahan yang dikehendaki Allah dan Yesus mempertegas dalam lnjil matius 19:3-6.
Catatan Refleksi
Apa yang dimaksud oleh Maleakhi 2:16 ketika Tuhan berkata, 'Aku membenci perceraian'?
Dalam Maleakhi 2:16 kita membaca, "Aku membenci perceraian, firman TUHAN, Allah Israel." Dalam masyarakat kita, di mana tingkat perceraian sangat tinggi, kata-kata ini mengejutkan kita. Kita telah terbiasa dengan perceraian sehingga kecaman sang nabi terhadap perceraian tampak terlalu keras. Namun, inilah Firman Tuhan: Dia membenci perceraian.
Meskipun Hukum Musa terkadang mengizinkan perceraian (Ulangan 24:1-4) dan Ezra pernah memerintahkan orang-orang Yahudi pasca-pembuangan untuk memutuskan pernikahan mereka yang tidak saleh dengan istri-istri penyembah berhala (Ezra 10:10-11), Maleakhi menegaskan bahwa Tuhan tidak menyukai perceraian.
Ajaran Yesus tentang perceraian juga sama kuatnya. Guru-guru agama bertanya kepada Yesus, "Apakah diperbolehkan orang menceraikan isterinya dengan alasan apa saja?" (Matius 19:3). Yesus menjawab, "Tidakkah kamu baca, bahwa Ia yang menciptakan manusia sejak semula menjadikan mereka laki-laki dan perempuan? Dan firman-Nya: Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging. Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia" (Matius 19:4-6; bdk. Kejadian 2:24). Yesus kemudian mencatat bahwa Hukum Taurat mengizinkan perceraian hanya karena manusia memiliki "kekerasan hati" dan tetap ingin melakukan apa yang mereka inginkan. Perceraian tidak pernah menjadi bagian dari rancangan Tuhan (Matius 19:8).
Perceraian tampaknya merajalela di antara para pendengar Maleakhi yang beragama Yahudi. Tanggapan Tuhan adalah, "Maka jagalah dirimu dan janganlah berkhianat!" (Maleakhi 2:16b). Yang dibutuhkan oleh orang-orang itu adalah komitmen terhadap kekudusan pribadi dan kesetiaan yang teguh kepada pasangan mereka.
Tuhan berkata, "Aku membenci perceraian," bukan untuk menyakiti mereka yang telah menderita karena pernikahan yang hancur, tetapi untuk menegur pasangan yang tidak setia. Ayat 14 mengatakan, "TUHAN telah menjadi saksi antara engkau dan isteri masa mudamu yang kepadanya engkau telah tidak setia, padahal dialah teman sekutumu dan isteri seperjanjianmu." Para pria itu tidak setia kepada istri mereka-kemungkinan besar, mereka terlibat dalam hubungan perzinahan dan menceraikan istri mereka untuk menikah lagi. Pernyataan Tuhan bukanlah kutukan bagi mereka yang tersakiti oleh perceraian; sebaliknya, pernyataan ini adalah peringatan bagi para pezinah yang menciptakan situasi yang mengarah pada perceraian.
Setelah mendengar perkataan Yesus tentang perceraian dalam Matius 19, "Murid-murid itu berkata kepada-Nya: 'Jika demikian halnya hubungan antara suami dan isteri, lebih baik jangan kawin'" (Matius 19:10). Para murid, seperti halnya banyak orang dalam masyarakat kontemporer kita, bergulat dengan gagasan untuk setia dalam pernikahan ketika begitu banyak jalan keluar yang mudah.
Sementara dunia melihat perceraian sebagai pilihan yang sah untuk hampir semua alasan, tujuan awal Tuhan untuk pernikahan terlihat pada pasangan pertama, Adam dan Hawa. Seorang pria dan seorang wanita dalam sebuah hubungan yang berkomitmen, penuh kasih, dan seumur hidup. Kesetiaan dalam sebuah hubungan seperti itu dimaksudkan untuk mencerminkan kasih Tuhan yang kekal bagi umat-Nya (Hosea 2:19; Efesus 5:31-32).
Pernikahan Katolik adalah:
PERSEKUTUAN HIDUP - ANTARA SEORANG PRIA DAN SEORANG WANITA - YANG TERJADI KARENA PERSETUJUAN PRIBADI - YANG TAK DAPAT DITARIK KEMBALI - DAN HARUS DIARAHKAN KEPADA SALING MENCINTAI SEBAGAI SUAMI ISTERI - DAN KEPADA PEMBANGUNAN KELUARGA - DAN OLEH KARENANYA MENUNTUT KESETIAAN YANG SEMPURNA - DAN TIDAK MUNGKIN DIBATALKAN LAGI OLEH SIAPAPUN, KECUALI OLEH KEMATIAN.
1. PERSEKUTUAN HIDUP
Apa yang pertama-tama kelihatan pada perkawinan Katolik? Jawabnya adalah: Hidup bersama. Namun, hidup bersama itu masih beranekaragam isinya. Dalam perkawinan Katolik, hidup bersama itu mewujudkan persekutuan. Jadi, hidup bersama yang bersekutu. Bersekutu mengisyaratkan adanya semacam kontrak, semacam ikatan tertentu dengan sekutunya. Bersekutu mengandaikan juga kesediaan pribadi untuk melaksanakan persekutuan itu, dan untuk menjaga persekutuan itu. Ada kesediaan pribadi untuk mengikatkan diri kepada sekutunya, dan ada kesediaan pribadi untuk memperkembangkan ikatannya itu supaya menjadi semakin erat.
Ikatan ini tidak mengurangi kebebasannya. Justru ikatan itu mengisi kebebasan orang yang bersangkutan. Pertama-tama karena para calon mempelai memilih sendiri untuk bersekutu, dan bebas untuk memilih mau bersekutu dengan siapa, memilih untuk terikat dengan menggunakan kebebasan sepenuhnya; tetapi juga karena kebebasan itu hanya dapat terlaksana dalam melaksanakan pilihannya untuk bersekutu ini. Dengan kata lain boleh dikatakan bahwa persekutuan itu membuat orang sungguh-sungguh bebas karena dapat memperkembangkan kreatifitas dalam memelihara dan mengembangkan persekutuan itu; bukan dengan menghadapkan diri pada pilihan-pilihan yang baru lagi. Persekutuan yang dibangun itu menjadi tugas kehidupan yang harus dihayatinya.
2. SEORANG PRIA DENGAN SEORANG WANITA
Penekanan pertama di sini adalah seorang dengan seorang: artinya orang seutuhnya dengan orang seutuhnya.
Ini menggambarkan penerimaan terhadap satu pribadi seutuhnya. Yang diterima untuk bersekutu adalah pribadi, bukan kecantikan, kegantengan, kekayaan atau kepandaiannya saja. Ada beberapa catatan untuk penerimaan satu pribadi ini: Pertama, menerima pribadi itu berarti menerima juga seluruh latar belakang dan menerima seluruh masa depannya. Artinya, saya tidak dapat menerima pribadi itu hanya sebagai satu pribadi yang berdiri sendiri. Selalu, saya harus menerima juga orang tuanya, kakak dan adiknya, saudara-saudaranya, teman-temannya, bahkan juga bahwa dia pernah berpacaran atau bertunangan dengan si ini atau si itu. Lebih jauh lagi, saya juga harus menerima segala sesuatu yang terjadi padanya di masa mendatang: syukur kalau ia menjadi semakin baik, tetapi juga kalau ia menjadi semakin buruk karena penyakit, karena ketuaan, karena halangan-halangan; saya masih tetap harus menerimanya. Yang ke dua, menerima pribadi berarti menerima dia apa adanya, dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Kalau dipikir secara matematis: yang bersekutu itu satu dengan satu; bukan 3/4 + 1/2, atau 1 + 6/8; lebih-lebih lagi, bukan satu dengan satu setengah/satu seperempat/satu tiga perempat/apalagi dengan dua, tiga, dan seterusnya.
Dengan ungkapan lain lagi: Saya seutuhnya, mau mencintai dia seutuhnya/apa adanya. Ini berarti, saya mau menerima dia seutuhnya, apa adanya; tetapi juga sekaligus saya mau menyerahkan diri seutuhnya kepadanya saja. Yang lain sudah tidak mendapat tempat lagi di hati saya, di pikiran saya. Hanya dia saja. Bahkan, anak-anakpun tidak boleh melebihi dia di hadapan saya, dalam pelayanan saya.
Penekanan ke dua pada seorang pria dengan seorang wanita.Yang ini kiranya cukup jelas. Hanya yang sungguh-sungguh pria dan yang sungguh-sungguh wanita yang dapat melaksanakan perkawinan secara katolik.
3. PERSETUJUAN PRIBADI
Hidup bersekutu itu terjadi karena setuju secara pribadi. Yang harus setuju adalah yang akan menikah. Dan persetujuan itu dilakukan secara pribadi, tidak tergantung pada siapapun, bahkan juga pada pasangannya. Maka, rumusannya yang tepat adalah: “Saya setuju untuk melangsungkan pernikahan ini, tidak peduli orang lain setuju atau tidak, bahkan tidak peduli juga pasangan saya setuju atau tidak”.
“Lalu bagaimana kalau pasangan saya kurang atau bahkan tidak setuju?. Dia hanya pura-pura setuju”. Kalau demikian, bukankah pihak yang setuju dapat dirugikan? Ya, inilah resiko cinta sejati. Cinta sejati di sini berarti saya setuju untuk mengikatkan diri dengan pasangan, saya setuju untuk menyerahkan diri kepada pasangan, saya setuju untuk menjaminkan diri pada pasangan; juga kalau akhirnya persetujuan saya ini tidak ditanggapi dengan baik/sesuai dengan kehendak saya. Yang menjadi dasar pemahaman ini adalah karena setiap mempelai membawa cinta Kristus sendiri. Kristuspun tanpa syarat mengasihi kita, Kristus tanpa syarat menerima kita dan memberikan DiriNya bagi kita.
4. PERSETUJUAN PRIBADI YANG TAK DAPAT DITARIK KEMBALI
Persetujuan pribadi untuk bersekutu itu nilainya sama dengan sumpah/janji dan bersifat mengikat seumur hidup. Sebab persetujuan itu mengikutsertakan seluruh kehendak, pikiran, kemauan, perasaan. Pokoknya seluruh kepribadian. Maka dinyatakan bahwa persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali. Sebab, penarikan kembali pertama-tama berarti pengingkaran terhadap diri sendiri, pengingkaran terhadap kebebasannya sendiri, pengingkaran terhadap cita-cita dan kehendaknya sendiri. Tetapi, kemudian, juga berarti bahwa pribadinya sudah tidak menjadi utuh kembali.
5. DAN YANG DIARAHKAN
Sebenarnya, pengalaman untuk membuat dan memelihara dan memper kembangkan persetujuan pribadi untuk bersekutu itu sudah harus dipupuk sejak masa pacaran Maka, ada banyak yang merasa bahwa persetujuan semacam itu sudah tidak perlu dipertanyakan lagi. Pokoknya sudah beres, begitu. Semua sudah siap. Namun, kenyataannya persetujuan yang terjadi pada masa pacaran belumlah memenuhi syarat perkawinan. Dan benarlah, persetujuan yang dibangun pada masa pacaran baiklah persetujuan sebagai pacar. Persetujuan yang dibangun pada masa tunangan, baiklah persetujuan sebagai tunangan. Baru, setelah menikah, persetujuan itu boleh menjadi persetujuan sebagai suami-isteri. Maka, Kita lihat, misalnya adanya pembatasan-pembatasan dalam berpacaran, menunjukkan bahwa persetujuan itu belum bisa dilaksanakan sepenuhnya. Secara lebih positif dapat dikatakan bahwa persetujuan semasa pacaran lebih diarahkan untuk dapat melaksanakan janji pada saat perkawinan. Supaya janji pada saat perkawinan sungguh berisi dan memberi jaminan bagi masa depan baik pribadi maupun pasangannya. Tiga kata ini juga dapat diartikan penegasan terhadap perkawinan sebagai awal dari kehidupan baru bagi kedua mempelai. Bagaimanapun oleh perubahan situasi manusia masih dapat berubah. Penegasan ini membantu para suami/isteri untuk melaksanakan isi persetujuan itu.
6. SALING MENCINTAI SEBAGAI SUAMI ISTERI
Pengalaman menunjukkan bahwa calon mempelai biasanya bingung dengan ungkapan ini. Mereka merasa sudah saling mencintai, kok masih ditanya soal ini. Masalahnya, sering tidak disadari bahwa cinta itu bermacam-macam. Ada cinta sebagai saudara, ada cinta sebagai sahabat, ada cinta karena belas kasihan, demikian pula ada cinta suami isteri. Tentu saja, yang namanya cinta sejati tidak pernah dapat berbeda-beda. Yesus menunjuk cinta sejati itu sebagai orang yang mengorbankan nyawaNya bagi yang dicintaiNya. Dan Yesus memberi teladan dengan hidupNya sendiri yang rela sengsara, bahkan sampai wafat untuk kita semua yang dicintaiNya. Namun, perwujudan cinta sejati itu ternyata bisa beranekaragam. Kekhasan dari cinta suami isteri adalah adanya keterikatan istimewa yang membuat mereka dapat menyerahkan diri seutuhnya bagi pasangannya. Dalam hal ini kiranya cinta suami isteri dapat disejajarkan dengan cinta yang diwujudkan dalam suatu kaul biara atau janji seorang imam. Bedanya, kalau kaul biara atau janji seorang imam tertuju kepada Tuhan di dalam umatNya; dalam perkawinan cinta itu tertuju kepada Tuhan di dalam pasangannya. Yang mau dituju adalah membangun suasana saling mencintai sebagai suami/isteri. Maka, tidak hanya membabi buta dengan cintanya sendiri. “Pokoknya saya sudah mencintai”. Ini tidak cukup. Perjuangan seorang suami/isteri adalah di samping memelihara dan memperkembangkan cintanya, juga mengusahakan supaya pasangannya dapat ikut mengembangkan cintanya sebagai suami/isteri.
7. PEMBANGUNAN KELUARGA
Hidup dalam persekutuan sebagai suami-isteri mau tidak mau mewujudkan suatu keluarga. Harus siap untuk menerima kedatangan anak-anak, harus siap untuk tampil sebagai keluarga, baik di hadapan saudara-saudara, di hadapan orang tua maupun di hadapan masyarakat pada umumnya. Maka, membangun hidup sebagai suami-isteri membawa juga kewajiban untuk mampu menghadapi siapapun sebagai satu kesatuan dengan pasangannya. Mampu bekerjasama menerima, memelihara dan mendewasakan anak, mampu bekerjasama menerima atau datang bertamu kepada keluarga-keluarga lain, mampu ikut serta membangun Gereja. Semuanya dilaksanakan dalam suasana kekeluargaan.
8. KESETIAAN YANG SEMPURNA
Setia dalam hal apa? Empat hal yang sudah diuraikan di atas, yakni persekutuan hidup antara seorang pria dan seorang wanita, memelihara dan memperkembangkan persetujuan pribadi, membangun sa ling mencintai sebagai suami isteri, membangun hidup berkeluarga yang sehat. Tidak melaksanakan salah satunya berarti sudah tidak setia. Apalagi kalau kemudian mengalihkan perhatiannya kepada sesuatu yang lain: membangun persekutuan yang lain, membuat persetujuan pribadi yang lain, membangun hubungan saling mencintai sebagai suami isteri dengan orang lain, membangun suasana kekeluargaan dengan orang lain (juga saudara): Ini dosanya besar sekali
Satu pedoman untuk kesetiaan yang sempurna adalah Kristus sendiri. Ia setia kepada tugas perutusanNya, Ia setia kepada BapaNya, Ia setia kepada manusia, kendati manusia tidak setia kepadaNya.
9. TAK DAPAT DIPISAHKAN OLEH SIAPAPUN
Persekutuan perkawinan terjadi oleh dua pihak, yakni oleh suami dan isteri. Maka, tidak ada instansi atau siapapun yang akan dapat memutuskan persetujuan pribadi itu. Bahkan suami isteri itu sendiripun tidak dapat memutuskannya, sebab persekutuan itu dibangun atas dasar kehendak Tuhan sendiri. Dan Tuhanlah yang merestuinya. Maka, pemutusan persekutuan perkawinan bisa dipandang sebagai pemotongan kehidupan pribadi suami/isteri. Ini bisa berarti pembunuhan, karena pribadi itu dihancurkan.
10. KECUALI OLEH KEMATIAN.
Pengecualian ini didengar tidak enak. Namun, nyatanya, misteri kematian tidak terhindarkan. Karena kematian yang wajar, persetujuan pribadi itu menjadi batal, karena pribadi yang satu sudah tidak mampu lagi secara manusiawi melaksanakan persetujuannya.
Sebagai penutup pertemuan ketiga BKSN ini Bp Mikael kolo berkata "Manusia seringkali merasa bahwa hidupnya senantiasa berada dalam kondisi sulit. Saat mengalaminya, manusia kerap merasa bahwa ia terperangkap dalam hukuman. Hukuman itu diyakini terjadi karena manusia tidak melakukan tindakan yang benar" jadi kita membutuhkan pembaruan relasi. Selamat beraktifitas, sampai jumpa di pertemua keempat. Salve!
September 22'2025
Luisfunan💕
Komentar
Posting Komentar